BMKG Sebut Sinar UV di RI Level Berbahaya, Ini Efek Ngerinya!

Warga menggunakan payung untuk menghindari paparan sinar matahari di kawasan Jakarta, Senin (17/4/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Cuaca panas melanda Indonesia dan beberapa negara lainnya belakangan ini. Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMKG) dalam unggahannya di Instagram menunjukkan, sejumlah wilayah di Indonesia akan mengalami tingkat indeks Ultraviolet UV tinggi, bahkan sangat tinggi dan ekstrem berbahaya.

Untuk diketahui, ada 3 jenis sinar ultraviolet, yakni UV-A, UV-B dan UV-C. Yang membedakannya adalah panjang gelombang, di mana UV-A yang paling panjang sedangkan UV-C paling pendek.

Sinar UV-C tidak sampai ke bumi, tertahan oleh lapisan atmosfer, sementara UV-B dan UV-A mampu menembus atmosfer.

Bahkan sinar UV-A mampu menembus lapisan terdalam kulit manusia (dermis), sementara UV-B hanya mampu sampai lapisan kulit luar (epidermis). Artinya, sinar UV-A lebih berbahaya ketimbang UV-B.

Tidak selamanya sinar UV itu berdampak buruk, bahkan tubuh kita memerlukannya sebagai sumber vitamin D. Oleh sebab itu, banyak yang menyarankan untuk berjemur selama 5 sampai 20 menit.

Untuk waktu yang tepat, masih menjadi perdebatan, ada yang menyebut pada pagi dan sore hari, ada yeng menyebut antara pukul 10 pagi sampai 3 sore. Semua tergantung dari lokasi yang bisa berbeda-beda setiap negara.

Perbedaan tersebut akibat jenis sinar UV yang mendominasi pada waktu-waktu tertentu. Adapun dampak buruk dari terpapar sinar UV yang berlebihan, yakni bisa menyebabkan kulit terbakar atau sunburn.

Kemudian bisa juga merusak mata hingga menurunkan kekebalan tubuh. Yang paling parah tentunya bisa menyebabkan kanker kulit.

Bahkan, studi yang dipublikasikan di jurnal Science Advance pada Januari lalu menyebutkan radiasi sinar UV menyebabkan kepunahan massal di dunia sekitar 250 juta tahun yang lalu. Saat itu, lebih dari 80% makhluk hidup di laut dan darat punah, sekaligus menjadi akhir Periode Permian.

Studi tersebut menunjukkan ada peran besar dari radiasi sinar UV-B terhadap kepunahan tersebut. Erupsi gunung membuat lapisan ozon di atmosfer menipis yang membuat sinar UV-B mudah menembus masuk ke bumi. Hal ini terungkap dari fosil butiran serbuk sari tumbuhan yang ditemukan di Tibet.

“Tanaman membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis, tetapi juga perlu melindungi diri terutama serbuk sari dari efek berbahaya sinar radiasi,” kata Dr. Barry Lomax penulis studi tersebut dari University of Nottingham, sebagaimana dilansir Independent, pertengahan Januari lalu.

Dr. Lomax menyebut tanaman merespons UV-B dengan memuat dinding luar butiran serbuk sari dengan senyawa yang berfungsi seperti tabir surya, sehingga melindungi sel yang rentan untuk kesuksesan reproduksi.

Dampak yang ditimbulkan dari paparan UV-B juga disebut memperburuk pemanasan global saat itu. Kemudian tanaman menjadi sulit dicerna, hal ini memperburuk kondisi hewan pemakan tumbuhan hingga akhirnya terjadi kepunahan massal.

“Studi ini memberikan bukti empiris paparan UV lebih tinggi pada saat kepunahan massal Permian. Paparan radiasi susah disebutkan sebagai skenario kepunahan massal sebelumnya, tetapi baru kali ini hal itu benar-benar dapat dibuktikan,” kata Vivi Vajda, ahli paleobiologi di Museum Sejarah Alam Swedia, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, sebagaimana dikutipĀ EosĀ pertengahan Februari lalu.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*