Hilirisasi di Tanah Air diklaim telah membuahkan hasil yang luar biasa sejak dicanangkan tiga tahun lalu. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri.
Kebijakan ini diklaim sukses memberikan nilai tambah sebesar US$ 33 miliar atau Rp514,3 triliun (kurs Rp15.585 per US$). Realisasi itu naik signifikan dari yang tahun 2021 mencapai US$ 20,9 miliar, bahkan dari tahun 2018-2019 yang hanya US$ 3,3 miliar.
Pada tahun https://37.1.221.205/https://37.1.221.205/ 2023 ini, nilai tambah dari hilirisasi nikel di dalam negeri diperkirakan bisa naik lagi, ditargetkan mencapai US$ 38 miliar atau Rp592,2 triliun (kurs Rp15.585 per US$) pada tahun 2023.
Kesuksesan ini membuat Jokowi ‘pede’ meneruskan ambisinya. Setelah nikel, timah, bauksit hingga tembaga juga masuk dalam daftar larangan ekspor ke depannya.
Jokowi menegaskan bahwa pihaknya akan melanjutkan pelarangan ekspor mineral mentah (raw material) ke luar negeri. Bijih bauksit akan dilarang pada Juni 2023 dan selanjutnya, Jokowi akan melarang ekspor tembaga.
“Kalah di WTO (soal nikel) kita tambah lagi stop ekspor bauksit. Nanti pertengahan tahun kita akan tambah lagi stop ekspor tembaga. Kita harus berani seperti itu,” terang Presiden Jokowi dalam acara HUT PDIP ke-50, dikutip Selasa (16/5/2023).
Namun, kebijakan hilirisasi yang disampaikan Jokowi dan jajarannya dinilai salah kaprah.
Ekonom Senior Faisal Basri menuturkan bahwa pemerintah telah melarang ekspor biji nikel pada 1 Januari 2020 dan mewajibkan biji nikel agar diolah terlebih dahulu di dalam negeri.
Namun yang terjadi, nilai tambah tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat sepenuhnya, sebab hanya menguntungkan pengusaha besar. Bahkan salah satunya devisa hasil ekspor disimpan di luar negeri.
Sementara itu, dia menilai China yang merupakan penampung nikel Indonesia, mendapat keuntungan besar.
“Yang terjadi kalau hilirisasi biji nikel diolah jadi pig nikel ekspor bukan dijadikan lanjutan industri kita hilirisasi malah menopang industrialisasi di China,” kata Faisal.
Seharusnya langkah yang diambil adalah memaksa industri tersebut dari hulu sampai hilir berkembang di dalam negeri.
Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menuturkan sebagian besar bijih nikel di Indonesia, kurang lebih sebesar 95%, diolah oleh perusahaan smelter China yang beroperasi di Indonesia.
China membelinya dari penambang dengan harga murah, karena harga patokan mineral dalam negeri yang kurang dari setengah harga nikel internasional.
“Pemerintah hanya menetapkan harga bijih nikel $34 per ton, sementara di Pasar Shanghai harganya mencapai $80 per ton. Industri smelter Cina ini juga tidak membayar royalti tambang sepeserpun karena mereka tidak menambang langsung,” kata Anggota DPR RI tersebut, dikutip dari pernyataannya di situs resmi PKS.
Kedua, dia melihat faktor pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak atau tax holiday (PPh badan) selama 25 tahun. Hal ini, menurut Rofik, juga turut menguntungkan pihak lain dan bukan kita sendiri.
“Ini artinya rakyat kehilangan kesempatan menikmati pendapatan tambahan dari nikel miliknya selama 25 tahun,” ungkapnya.
Tampaknya, Presiden Jokowi tutup mata dengan masalah ini. Alih-alih mundur, Jokowi memastikan hilirisasi terus berjalan ke depannya.
Bahkan, Jokowi meminta pemimpin selanjutnya untuk berani melanjutkan hilirisasi dan mengindustrialisasikan bahan bahan mentah yang dimiliki Indonesia. Sekalipun kedepannya terdapat potensi masalah yang akan dihadapi bangsa ini.
“Saya akan titip kepada pemimpin berikutnya jangan takut digugat oleh negara manapun. Kalau digugat ya cari pengacara cari lawyer yang terbaik agar gugatan kita menang tapi tahun terakhir kalah. Kalah pun tidak boleh mundur, saya naik banding” ungkap Jokowi pada saat mengisi pidato politik Musyawarah Rakyat (Musra) Relawan Jokowi di Istora Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (16/5/2023).
Apabila kalangan pelaku industri belum siap menjalankan program hilirisasi secara mandiri, Jokowi memberikan alternatif lain, yakni dengan menggandeng mitra terlebih dahulu dari luar. Dengan demikian, pendapatan negara melalui pajak ekspor dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dapat melonjak.
“Itu yang paling penting bisa dapat pajak dari situ, negara bisa dapatkan PPh, PPN dari ekspor bea ekspor dari PNBP bisa mendapatkan dari situ kalau mentah kita dapat apa,” katanya.