Jumlah driver ojek online (ojol) diprediksi akan menurun drastis dalam beberapa tahun ke depan akibat faktor penurunan pendapatan. Pendapatan itu turun akibat potongan yang cukup besar dari perusahaan aplikasi ride hailing, seperti Gojek dan Grab.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono menilai bahwa pemotongan pendapatan yang cukup besar tersebut membuat masyarakat tidak lagi antusias untuk menjadi pengemudi. Kondisi itu berbanding balik jika dibandingkan dengan 2016 silam, yakni saat masyarakat berbondong-bondong beralih profesi menjadi driver ojol.
Diketahui, penghasilan para pengemudi ojol bisa mencapai Rp10 juta pada periode 2010 hingga 2015. Tidak hanya itu, perusahaan aplikasi ride hailing mulai melakukan perekrutan besar-besaran untuk posisi driver pada 2016.
Namun, pada 2016 hingga 2018, pendapatan para driver mulai menurun hingga 50 persen. Kondisi itu semakin menjadi ketika pandemi Covid-19 yang semakin memotong pemasukan pengemudi mulai menghantam.
“Memang yang membuat ini terus menurun karena banyak potongan perusahaan aplikasi terhadap pengemudi ojek online. Hal ini sebagai gambaran perusahaan tidak memperhatikan, tidak merawat pengemudinya, namun hanya profit oriented saja,” kata Igun kepada CNBC Indonesia, dikutip Minggu (23/4/2023).
Igun menjelaskan, angka potongan yang berlaku saat ini lebih dari 20 persen, padahal pihaknya telah meminta angka potongan maksimal sebesar 10 persen. Ia memprediksi krisis pengemudi ojol akan terjadi bila tidak ada penurunan potongan.
“Selagi tidak terlaksana, kami yakin jumlah pengemudi akan terus menurun. Bisa dilihat ke depannya pada kota-kota besar jumlah ojek online semakin menurun untuk lima tahun ke depan,” jelas Igun.
Pada akhir 2022 lalu, tarif ojol telah resmi dinaikkan. Hal ini berdasarkan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 yang ditetapkan pada 4 Agustus 2022.
Namun, para mitra driver mengaku tidak merasakan ‘cipratan’ penambahan pendapatan dari kenaikan tarif itu. Bahkan, pemotongan upah masih terjadi.
Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO), Taha Syafaril mengatakan pengguna ojol kerap berekspektasi layanan ojol meningkat berkat kenaikan tarif. Namun, itu tak bisa terjadi karena para driver empot-empotan kejar target dan tak dapat upah lebih.
“Tapi mitra tidak bisa melakukan perbaikan layanan karena menerima pendapatan dari tarif yang makin kecil. Sangat banyak saingan dan harus menambah jam kerja,” kata Taha saat dihubungi CNBC Indonesia.
“Hal yang merusak sistem transportasi online adalah aplikasi sendiri, yakni dengan terus menambah biaya potongan tanpa peduli kesulitan mitra driver,” imbuhnya.
Jika krisis driver benar-benar terjadi, Taha menyebutkan bahwa ini adalah kesalahan para penyedia platform. Pasalnya, mereka hanya memedulikan persaingan bisnis tanpa memperhatikan nasib driver.
“Menurut saya, aplikasi sendiri biang keladinya. Sejak meledaknya kuota mitra driver, aplikasi jemawa dengan bisnisnya. Arogan sekali! Enggak heran kalau mitra driver banyak yang sudah enggak sanggup menjalankan profesinya,” pungkas Taha.
Berkaitan dengan hal ini, penelitian Mahasiswa Doktoral London School Economics (LSE), Muhammad Yorga Permana mengungkapkan bahwa para ojol berminat untuk beralih profesi menjadi pegawai tetap. Salah satu alasannya karena pendapatan mereka terus mengalami penurunan.
Penelitian mencatat penurunan pendapatan terjadi pada 2019. Bonus harian yang ditawarkan aplikasi juga dinilai tidak menarik lagi sekarang.