Pemilihan Presiden Turki akan berlanjut di putaran kedua. Ini merupakan pertama kalinyanya dalam sejarah negara itu.
Pasalnya, baik petahana Presiden Recep Tayyip Erdogan ataupun lawannya Kemal Kilicdaroglu, tidak mendapatkan kemenangan langsung setelah pemungutan suara diadakan pada Minggu. Dalam aturan Turki, seorang kandidat harus mendapatkan lebih dari 50% suara untuk memenangkan pemilihan.
Menurut update https://5.61.57.251/ https://5.61.57.251/Dewan Pemilihan Tertinggi Turki (YSK), Erdogan unggul dengan 49,54% suara sementara saingannya Kemal Kilicdaroglu memiliki 44,88%. Angka didapat dari 99% suara yang sudah dihitung.
“Karena tidak ada yang melewati ambang itu, pemungutan suara akan dilanjutkan ke pemilihan putaran kedua dalam dua minggu, pada 28 Mei,” tulis CNBC International, mengutip sumber lokal, Selasa (16/5/2023).
Perlu diketahui Erdogan sudah 20 tahun memimpin Turki. Awalnya ia menjadi Perdana Menteri (PM) di 2003 hingga 2014, sebelum menjadi presiden.
Ia berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang konservatif dan berakar Islam. Di awal kepemimpinannya, Turki menjadi terkenal sebagai kekuatan ekonomi pasar yang sedang berkembang.
Meski begitu, tahun-tahun belakangan menjadi “mimpi buruk” bagi warga. Negeri itu terkena krisis biaya hidup karena intervensi kuat Erdogan yang menahan suku bunga bank sentral, yang makin menaikkan inflasi dan membuat mata yang lira jatuh terhadap dolar.
Dari data terbaru, inflasi Turki mencapai 50,51% pada bulan salu. Senin kemarin, lira diperdagangkan pada rekor terendah yaitu 19,56 terhadap dolar AS, di mana pengamat pasar memperkirakan bahwa mata uang Turki tersebut masih akan mengalami penurunan.
Belum lagi ketegangan yang meningkat dengan Barat. Turki yang negara NATO, seolah merapat ke “musuh Amerika Serikat (AS)”, Rusia.
Sejumlah negara dan kelompok domestik mengkritik pemerintah Erdogan karena menerapkan kebijakan yang semakin otokratis. Seperti tindakan berat terhadap pengunjuk rasa, penutupan paksa media independen dan perluasan dramatis kekuasaan presiden.
“Kami sangat yakin bahwa kami akan terus melayani bangsa kami selama lima tahun ke depan,” kata Erdogan optimis kepada kerumunan pendukungnya.
Sementara itu Kilicdaroglu, yang mewakili koalisi enam partai oposisi yang berbeda, semuanya berusaha untuk menggeser Erdogan. Ia berjanji untuk memenangkan pemilu pada putaran kedua pemungutan suara.
“Terlepas dari semua fitnah dan hinaannya, Erdogan tidak bisa mendapatkan hasil yang dia harapkan. Pemilihan tidak bisa dimenangkannya,” tegas sosok dari kelompok minorias Turki, Alevi itu.
Erdogan Bisa Lengser
Meski Erdogan menang dalam putaran pertama, posisinya tetap kritis. New York Times menulis, ia masih bisa kalah.
Mengutip laman yang sama, jajak pendapat terbaru menunjukkan dia di bawah penantang utama, Kilicdaroglu. Belum lagi masalah ekonomi yang terus menerus membuat warga Turki merasa lebih miskin.
“Pemilu tidak adil, meskipun bebas. Dan, itulah mengapa selalu ada prospek perubahan politik di Turki,” kata direktur kelompok penelitian EDAM yang berbasis di Istanbul, Sinan Ulgen,” katanya.
“Prospeknya ada, dan sekarang bisa diraba,” tegasnya lagi.
Sendungen lainnya adalah kelompok minoritas, termasuk dari Kurdi dan kelompok Alevi. Kaum muda juga bisa manjado balangam kemenangan Erdogan karena cenderung menganggap kepemimpinan Erdogan tak demokratis.
“Saya didiskriminasi karena identitas ganda (Kurdi dan Alevi) ini,” kata Emre, mahasiswa berusia 23 tahun.
“Saya melihat banyak orang meninggal karena kurangnya bantuan dalam dua atau tiga hari pertama,” tambahnya mengingat gempa awal 2023 lalu.
“Ini adalah jalan Kurdi dan Alevi. Rumah-rumah hancur, tetapi kami tidak mendapatkan jumlah bantuan yang sama seperti jalan-jalan lain yang sebenarnya tidak terlalu rusak,” tegsnya.
“Seluruh negara akan memilih karena pemerintah harus berubah. Kami telah diberangus; kebebasan berekspresi kami benar-benar dibatasi. Itu karena saya tidak akan rugi apa-apa sehingga saya tidak takut untuk berbicara. Yang tersisa hanyalah keluargaku. Tapi orang lain takut diborgol dan dipenjara,” ujarnya dikutip France 24.
Sementara itu, analis politik menyebut momen pemilu ini bisa memicu kecemasan tinggi. Potensi kekerasan atau ketidakstabilan bisa terjadi jika hasil pemilu ditentukan oleh kandidat yang kalah atau pendukung mereka melakukan aksi karena tak terima.