Krisis ekonomi yang menyerang Sri Lanka telah berubah menjadi krisis kelaparan yang parah. Setengah keluarga di negara kepulauan yang dinyatakan bangkrut pada tahun lalu itu terpaksa mengurangi jumlah makanan yang berikan kepada anak-anak mereka.
Dalam laporan terbaru yang diterbitkan Kamis (2/3/2023), badan amal hak anak Save the Children memperingatkan pemerintah Sri Lanka dan komunitas internasional harus bertindak sekarang untuk mencegah anak-anak di negara itu menjadi generasi yang hilang.
“Sejak pemerintah Sri Lanka gagal membayar utangnya hampir setahun yang lalu, melonjaknya inflasi dan kelangkaan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar serta kurangnya pekerjaan yang stabil telah membuat keluarga tidak mampu mengatasinya,” kata laporan itu, dikutip dariĀ Al Jazeera, Kamis (2/3/2023).
Sementara itu, setengah dari rumah tangga Sri Lanka mengurangi asupan makanan anak-anak mereka. Sebanyak 27% dari lebih dari 2.300 rumah tangga yang disurvei melaporkan orang dewasa melewatkan makan untuk memberi makan anak-anak mereka.
Sembilan dari 10 rumah tangga mengatakan mereka tidak dapat menjamin makanan bergizi untuk anak-anak mereka.
Muditha Dharmapriya, seorang ahli gizi di Kolombo, mengatakan dirinya sependapat dengan temuan survei Save the Children.
“Saya tidak memiliki statistiknya, tetapi memang benar begitu banyak orang, mungkin 50% dari rumah tangga seperti yang dikatakan survei, tidak memiliki nutrisi yang cukup,” katanya.
“Sesuai Piramida Panduan Makanan, seorang anak perlu makan dua-tiga porsi daging, ikan, dan unggas [MFP] per hari. Tetapi banyak rumah tangga di Sri Lanka tidak mampu membelinya,” tambahnya.
Bukan hanya protein yang tidak didapatkan anak-anak karena meroketnya biaya hidup. Diketahui seseorang membutuhkan enam hingga 11 porsi karbohidrat, di mana tubuh mendapatkan 1.500-2.000 kkal sehari. Sejak krisis ekonomi, asupan itu telah dikurangi hingga hampir 900 kkal.
“Masyarakat tidak bisa lagi makan nasi seperti dulu. Alih-alih makan makanan bergizi, yang terjadi sekarang adalah orang makan sesuatu hanya untuk berhenti merasa lapar. Mereka mungkin makan nasi dengan porsi yang dikurangi dan tidak ada MFP sama sekali,” katanya.
Laporan Save the Children muncul sehari setelah ribuan pekerja melakukan aksi mogok yang bertentangan dengan arahan pemerintah yang menyatakan beberapa layanan penting untuk menghentikan protes atas rencana dana talangan IMF.
Sejak akhir 2021, negara pulau di Asia Selatan itu berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk. Ini dipicu oleh kurangnya cadangan devisa dan utang pemerintah luar negeri yang menumpuk.
Negara berpenduduk 22 juta orang itu telah meminta bantuan dari IMF setelah gagal membayar utangnya sebesar US$ 46 miliar April lalu.